Republik Kelamin: Sastra Terlibat - Sastra Hibrida - Puisi Bergerak

 


Oleh: Rudi Winarso 

S

etelah beberapa kali mendengar dan membaca lirik puisi karya Wisnu Pamungkas di buku kumpulan puisi “Republik Kelamin” ini membuat saya terlempar di poros persimpangan arus jatidiri kebudayaan nusantara. Pusaran yang mengerikan, arus liar tanpa irama bercampur hamburan sampah peradaban dari berbagai benua dan samudra.

Jatidiri nusantara mengalami tantangan yang besar di era digitalisasi dan globalisasi pada abad ke-21 ini, di mana oligarki menyanggong di persimpangan arus kuat peradaban besar dunia dari negara-negara pertama. Tantangan untuk ikut arus atau semakin menguatkan keindonesiaan di tengah perubahan besar yang diakibatkan oleh pelbagai perkembangan teknologi dan terbentuknya tata dunia baru yang semakin terpolarisasi oleh peradaban besar dan kepentingan oligarki menjadi wacana dan gerakan yang harus terus ditsunamikan oleh semua komponen kebudayaan di negeri ini.

Pada momentum ini, seorang Wisnu Pamungkas menemukan titik awal realita banalitas tata kelola negeri ini, sebuah negeri yang sangat indah, tanah yang subur dan melimpah, kekayaan laut yang melampaui harta karun, negeri yang rakyatnya mempunyai hati yang sangat mulia, melebihi nilai gabungan semua batu mulia dan logam mulia yang ada di seluruh bumi. Ironisnya, sebuah negeri yang melampaui gambaran surgawi ini – dikelola oleh gerombolan bedebah.

Seorang Wisnu Pamungkas dengan kelihaian menyusun kata-kata, huruf demi huruf mengalir, meluncur dan menghantam bagaikan meriam kata-kata yang melumat anomali kekuasaan.

Wisnu menulis di kesunyian pedalaman awal mula peradaban Varuna-dvipa dan pinggiran pantai Glagah-Adikarto, Wisnu menulis di keporakpandaan ibukota, pada intinya Wisnu menulis di manapun dia berada sepanjang dia keliling nusantara maupun di belahan benua manapun.

Wisnu menulis tidak sendiri, dengan lihai dia merekrut gerombolan akal imitasi kecerdasan buatan, mesin akal imitasi ini dirangkul dan dilatih menjadi prajurit komposisi melodi dan harmoni sekaligus mesiu aransemen musik menjadi kekuatan dengan daya ledak imaji indrawi untuk menghantam gerombolan bedebah, dengan raungan kasar, tajam, berdebu kelam, gaduh silau bising, berisik dan hingar bingar melalui pindaian kode respon cepat.

Saya melihat Wisnu Pamungkas meracik kekuatan tulisan dan suara dalam buku kumpulan puisi “Republik Kelamin” ini untuk meluluhlantakkan gerombolan bedebah dengan tujuan membebaskan dan memuliakan rakyat negeri “surgawi”, dari puisi menjadi “tsunami suara kata-kata”, bisa jadi ke depan menjadi “tsunami suara rupa kata-kata”.

Menurut saya, Wisnu Pamungkas dalam kumpulan puisinya menggunakan konsep sastra terlibat—sebuah pendekatan yang merujuk pada pemikiran Jean-Paul Sartre. Sastra, dalam pandangan ini, tidak netral: ia berpihak pada rakyat kecil, menolak ketidakadilan, dan berani bersikap kritis terhadap realitas politik.

Gagasan tersebut pernah diusung secara konsisten oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto, serta menjadi polemik besar pada 1980-an. Arief Budiman, melalui esainya Sastra yang Membebaskan, menegaskan bahwa sastra tidak cukup berhenti pada permainan estetika, melainkan harus menjadi alat pembebasan dari penindasan struktural. Ariel Heryanto bahkan menyatakan bahwa netralitas sastra dalam rezim otoriter sejatinya adalah kompromi dengan kekuasaan.

Pada 2000-an, Sapardi Djoko Damono menawarkan gagasan puisi bergerak dengan menuliskan puisinya di spakbor becak Malioboro—sebuah praktik yang memperluas ruang hidup puisi. Dalam konteks ini, saya tidak melihat kelemahan berarti pada buku Wisnu Pamungkas; kebaruannya terasa kuat.

Sebagai tambahan, berikut beberapa contoh karya seni yang menjadi panggung kolaborasi lintas disiplin—yang memungkinkan lahirnya “Wisnu-Wisnu” berikutnya.

Serat Centhini

Serat Centhini, atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan karya sastra kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa supaya tidak punah dan tetap terlestarikan sepanjang waktu, atau disebut ensiklopedia Jawa awal abad ke-18.

Serat Centhini bukan sekadar buku biasa. Karya ini ibarat ensiklopedia kebudayaan Jawa, memuat segudang pengetahuan tentang agama, kebatinan, dunia keris, karawitan, tata cara membangun rumah, primbon, hingga cerita rakyat.

Kisahnya mengikuti perjalanan putra-putri Sunan Giri yang berkelana menjelajahi Jawa, mendalami adat, budaya, dan spiritualitas. Setiap baitnya penuh dengan renungan filosofis yang menggugah kita untuk lebih memahami nilai-nilai kehidupan.

Babad Diponegoro

Pada abad ke-19 Babad Diponegoro yang ditulis langsung oleh Pangeran Diponegoro merupakan sebuah kritik tajam yang menelanjangi kebobrokan yang terjadi pada masanya, baik di dalam tubuh Keraton Yogyakarta maupun pemerintahan kolonial Belanda.

Melalui Babad Diponegoro, Pangeran Diponegoro tidak hanya menceritakan kisah hidup dan perjuangannya, tetapi juga memberikan gambaran utuh tentang kondisi sosial-politik yang tidak stabil dan penuh ketidakadilan pada awal abad ke-19 di Jawa, yang menjadi alasan utamanya melancarkan Perang Jawa.

Babad Diponegoro menyoroti intervensi kolonial, kemerosotan moral elite, penindasan rakyat, hingga pelanggaran nilai sakral budaya Jawa. Naskah ini tidak hanya merekam perjuangan pribadi Diponegoro, tetapi juga potret ketidakadilan sosial-politik Jawa abad ke-19, dan telah diakui UNESCO sebagai Memory of the World.

Raden Saleh

Kontroversi Raden Saleh terletak pada posisinya yang ambigu: bangsawan Jawa terdidik Eropa yang melahirkan kritik kolonial lewat lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, namun juga bekerja dalam struktur kekuasaan Belanda. Lukisan tersebut membalik narasi kolonial secara simbolik dan menjadi tonggak nasionalisme visual Indonesia. Perdebatan tentang loyalitas, identitas, hingga keaslian karyanya terus menyertainya hingga kini, sementara nisannya sendiri mencantumkan gelar dari Raja Belanda, menimbulkan perdebatan apakah ia pahlawan atau sekadar seniman oportunis.

Lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro" merupakan kritik terselubung: Lukisan ini secara estetika membalik narasi Belanda, menempatkan Diponegoro di sisi terhormat (kanan) dan penjajah di sisi kiri, menunjukkan pengkhianatan dan perlawanan dengan simbolisme kuat.

The Tielman Brothers

The Tielman Brothers adalah sebuah grup musik tertua asal Indonesia. Mereka adalah anak dari Herman Tielman dan Flora Laurentine Hess asal kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang memulai karir di Surabaya pada tahun 1947.

Grup musik asal Indonesia ini merupakan pelopor genre Indo-Rock di Eropa. Mereka dikenal lewat aksi panggung yang revolusioner, inovasi teknis instrumen, serta sebagai band pertama yang merilis single rock and roll di Belanda (1958). Pengaruh mereka bahkan disebut menginspirasi musisi dunia seperti The Beatles dan Jimi Hendrix.

S. Sudjojono

"Jiwa Ketok" adalah konsep seni S. Sudjojono, Bapak Seni Modern Indonesia, yang berarti "jiwa yang tampak" atau "jiwa yang terlihat", menekankan bahwa karya seni adalah perwujudan langsung dari jiwa dan isi hati seniman, bukan sekadar keindahan teknis, melainkan ekspresi kebenaran dan identitas diri serta bangsa, melawan seni Indie (Mooi-Indie) yang dianggap dangkal.

Konsep ini menganjurkan seniman untuk jujur pada perasaannya dan menyampaikan kebenaran melalui karyanya, menjadikannya identitas seni Indonesia yang autentik. Melalui konsep Jiwa Ketok, Sudjojono menegaskan bahwa seni adalah manifestasi jiwa seniman—jujur, ekspresif, dan berpihak pada realitas.

Chairil Anwar

Dalam masa revolusi, gagasan kebangsaan diwujudkan melalui kata dan visual propaganda. Atas permintaan Bung Karno, Chairil Anwar berperan sebagai penulis slogan, didukung S. Sudjojono dan Affandi. Poster legendaris “Bung, Ajo Boeng” lahir dari semangat ini—terinspirasi bahkan dari bahasa sehari-hari kaum marginal Jakarta.

Sastra dan kebudayaan selalu bergerak dalam pusaran perubahan sosial, ekonomi, dan politik global. Revolusi komunikasi membuat dunia kian terbuka—sekaligus menjadi ancaman dan peluang bagi kebudayaan Nusantara. Di tengah pergeseran kekuatan ekonomi dunia ke Asia, Indonesia berhadapan dengan arus modal besar yang kerap melayani kepentingan oligarki.

Menariknya, klaim budaya oleh negara lain justru memicu kebangkitan nasionalisme, seperti gerakan batik yang berujung pada pengakuan UNESCO tahun 2009. Ke depan, penguatan kebudayaan perlu terus diperbarui—bahkan dengan motif-motif kontemporer yang merefleksikan realitas hari ini.

Namun di tengah empati lintas bangsa atas bencana, sering kali yang terdengar dari elite justru banalitas kekuasaan. Pada akhirnya, rakyat dipaksa tetap “sehat” di tengah negara yang sedang sakit.

Maguwo, 19 Desember 2025

(77 tahun Agresi II Militer Belanda; rakyat melawan dengan perang gerilya)

 



[1] Penulis, Perupa dan Praktisi Desain Komunikasi Visual

Type above and press Enter to search.