Filsafat Dayak vs Filsafat Barat: Dua Cara Menjadi Manusia

Dayak mengajarkan bahwa hidup yang baik bukan yang paling bebas, tapi yang paling selaras.

Suatu sore—beberapa hari setelah peluncuran buku Filsafat Dayak di Institut Teknologi Keling Kumang, Kalimantan Barat—sebuah nomor tak dikenal mengirim pesan lewat WhatsApp.

“Bro, apa bedanya antara Filsafat Dayak dan Filsafat Barat?”

Bukan hanya dia yang bertanya begitu. Beberapa kolega dan kenalan dekat bahkan menelepon. “Bro, kenapa filsafat harus bawa-bawa suku segala?” kata salah satunya sambil bercanda.

Tak hanya itu, mantan bos saya—yang kini tampangnya makin mirip Plato—juga ikut penasaran. “Apa sih isi buku Filsafat Dayak itu?”

“Berarti Bos belum baca ya, hehehe,” jawab saya.

Sang mantan hanya nyengir kuda saat kami duduk santai di sebuah kafe di kawasan Gejayan, Jogja. Ia lalu menyedot rokoknya dalam-dalam sambil memandangi gerimis yang tak juga reda.

Buku yang ditulis oleh Prof. Tiwi Etika, Ph.D, bersama sejumlah intelektual Dayak, memang telah mencuri perhatian banyak kalangan dalam dua bulan terakhir. Buktinya, cetakan pertama langsung ludes. Minggu ini, penerbitnya—Lembaga Literasi Dayak (LLD)—telah meluncurkan cetakan kedua, lengkap dengan tambahan sekitar 112 halaman. Tebalnya kini menjadi 461 halaman!

Nah, kalau saya harus menjawab satu per satu pertanyaan di atas, bisa gempor juga jempol ini tiap hari mengetik di keypad. Maka, kepada Prof. Tiwi Etika, Ph.D, dan kelima sahabat penulis lainnya—Dr. Patricia Ganing, Dr. Louis Ringah Kanyan, Dr. Wilson, M.Th, Masri Sareb Putra, M.A., dan Albertus Imas, M.A.—izinkan saya, sebagai salah seorang inisiator penulisan buku ini, menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dari sudut pandang saya yang sederhana.

Sejak Plato mendirikan Akademia di bawah naungan pohon, di pinggir kota Athena, filsafat Barat tumbuh sebagai sistem berpikir yang menekankan rasionalitas, logika, dan dikotomi antara tubuh dan jiwa, antara manusia dan alam. Ia menjadikan pertanyaan sebagai alat tajam untuk menguliti realitas. Namun jauh sebelum Descartes berkata, “Cogito, ergo sum”, masyarakat Dayak telah hidup dalam filsafat yang tak tertulis—namun membentuk kehidupan mereka secara menyeluruh: dalam hutan, dalam ritual, dalam nama-nama, dan dalam tenun panjang yang diwariskan turun-temurun.

Filsafat Dayak bukan tentang perdebatan di ruang seminar. Ia adalah cara hidup. Ia tidak mengandaikan dunia sebagai objek yang harus dianalisis, dikendalikan, atau ditaklukkan. Bagi orang Dayak, dunia bukan “di luar sana”. Dunia adalah “di dalam sini”. Hutan bukan sekadar latar ekologis, melainkan makhluk dengan kepribadian dan kehendak. Manusia bukan pusat, melainkan simpul dalam jejaring kehidupan.

Inilah perbedaan mendasarnya: filsafat Barat cenderung antroposentris, sementara filsafat Dayak bersifat kosmosentris. Dalam pandangan dunia Dayak, sungai, burung, batu, dan roh-roh leluhur memiliki eksistensi yang sahih, sejajar dengan manusia. Bukan sekadar metafora, tetapi bagian dari realitas relasional. Orang Dayak tidak hanya hidup di dalam dunia, tetapi hidup bersama dunia.

Filsafat Barat berkembang melalui tulisan dan sistematisasi. Filsafat Dayak hidup dalam cerita, adat, bunyi gong, dan gerak tari. Ia tidak diajarkan lewat buku teks, tetapi melalui pengalaman bersama alam dan komunitas. Ini bukan berarti filsafat Dayak “kurang rasional”, melainkan memiliki medium dan bentuk epistemologi yang berbeda. Pengetahuan bukan hasil observasi netral, tapi hasil relasi yang etis.

Satu contoh konkret adalah konsep tembawang—kawasan hutan adat yang diwariskan dan dijaga lintas generasi. Tembawang bukan sekadar wilayah pertanian berbasis agroforestri; ia juga adalah tempat suci tempat roh leluhur bersemayam. Di dalamnya tersimpan bukan hanya sumber pangan, tetapi juga sumber makna. Menebang pohon tanpa upacara adat atau tanpa izin dari Puyang Gana bagi masyarakat Dayak Iban berarti mengganggu keseimbangan kosmik. Di sinilah kita melihat bahwa dalam filsafat Dayak, etika tidak terpisah dari ekologi. Sebaliknya, etika adalah ekologi.

Dalam filsafat Barat modern, manusia dianggap sebagai subjek otonom, pemilik kehendak bebas dan rasio. Namun dalam filsafat Dayak, manusia adalah bagian dari jaringan tanggung jawab. Kebebasan tidak dilihat sebagai lepas dari keterikatan, tetapi sebagai kemampuan menjaga keseimbangan dalam keterhubungan. Dengan kata lain, filsafat Dayak mengajarkan bahwa hidup yang baik bukan yang paling bebas, tapi yang paling selaras.

Ketika kita bertanya, apa bedanya filsafat Dayak dan filsafat Barat, kita seperti membandingkan air dengan api. Bukan soal mana yang lebih unggul, tapi bagaimana keduanya memahami dunia dengan cara yang sangat berbeda. Yang satu menyalakan obor untuk melihat lebih jelas, yang satu lagi meresapi air untuk menyatu lebih dalam.

Mungkin inilah saatnya kita berhenti mengukur segala sesuatu dengan parameter Barat. Filsafat Dayak tidak perlu dikodifikasi agar sah. Ia sah karena hidup.

Yogyakarta, 9 Juli 2025

Type above and press Enter to search.