Satu Bendera yang Berkibar di Dua Negara!
![]() |
Ilustrasi demo di Nepal. Generate image by A |
Oleh: Alexander Mering
Di bawah langit kelam
Kathmandu, di mana debu gunung Himalaya bercampur asap gas air mata, seorang
pemuda bernama Bishnu Tamang berdiri tegak. Matanya menyala, bak lentera di
malam Deepawali, memegang bendera Jolly Roger—tengkorak bertopi jerami dari One
Piece—yang berkibar di tengah lautan manusia. Di ujung Pulau Dayak, aku melihat
seorang anak lelaki menatap bendera yang sama di layar tv, berkibar di jalanan
Jakarta. Rupanya bendera tersebut bukan sekadar kain fantasi di film kartun. Ia
menjelma menjadi panji-panji pemberontakan anak muda, metafora jiwa rakyat yang
bosan ditindas.
Di Nepal, 8 September
2025, jalanan Kathmandu bagai diterjang badai. Bishnu, anak petani dari Pokhara
itu, bukan lagi sekadar pemuda desa lugu yang hanya bisa menggembalakan kerbau di sawah. Kini ia menjelma panglima
jalanan, membawa ribuan massa Gen Z turun ke jalan, menyeru #WAKEUPNEPAL.
Larangan 26 platform medsos—WhatsApp, X, hingga TikTok—oleh pemerintah KP
Sharma Oli bagai minyak di lidah api kemarahan.
“Kami bukan domba!”
teriak Bishnu di depan Singha Durbar yang terbakar. “Kami anak Gurkha, darah
kami mengalir dari puncak Annapurna, tak sudi dikekang!”
Seperti halnya Indonesia,
di Nepal korupsi adalah candu: elit bergelimang harta, anak-anak mereka pamer
mobil mewah di Eropa, sementara rakyat hidup tiarap dengan US$1.400 setahun, terjerat
hutang dan luka pengangguran. Istri pejabat di Indonesia sering pamer
tas Hermes, makan kaviar, naik jet pribadi, sementara anggota DPR yang tunjangannya
naik Rp100 juta berjoget-joget di Jakarta saat rakyat sedang lapar dan
sengsara.
Aku melihat itu. Akhir
Agustus lalu, Jakarta, Medan, Bandung, Pekalongan, Makasar terbakar. Kematian
Affan, sopir ojek yang ditabrak mobil rantis polisi bagai pisau yang menyayat. Api Amarah rakyat cepat menjalar di medsos dan di group-group WhatsApp: #IndonesiaCemas,
#IndonesiaGelap #kaburajadulu. Bendera One Piece, simbol Luffy dikibarkan
di jalur Pantura hingga ke Monas.
“Kami bukan budak, Bung!”
seru seseorang.
“Setelah penjajah pergi, kami dijajah bangsa sendiri,” teriak seorang pemuda Dayak di Pontianak. Sebulan
sebelumnya ia ikut demo ke di kantor gubernur dan DPRD Kalbar, menolak
progam transmigrasi yang sama sekali tidak adil dan merata. Apalagi tanah Dayak kini sudah habis dikavling-kavling menjadi konsesi kebun kelapa
sawit dan tambang milik para inevstor yang bahkan tak pernah mereka tahu darimana datangnya.
Bendera Jolly Roger bagai
jembatan antara Nepal dan Indonesia. Di Kathmandu, Bishnu mengibarkannya sambil
mengenang mantra Buddha dari biara Tengboche: “Om Mani Padme Hum.” Ia berdoa, bukan untuk kemenangan, tapi untuk
nurani yang hidup setengah terpenjara. Di Pontianak, pemuda Dayak itu mencoba mengingat-ingat kidung suci pepatah
leluhurnya: “agik idup agik ngelban.” Aku melihat
bendera bajak laut Straw Hat Pirates itu
bukan lagi hanya animasi milik milik Monkey D. Luffy, tapi sudah menjadi puisi
pemberontakan rakyat—satir terhadap elit yang lupa kalau rakyat adalah pemegang
kedaulatan tertinggi.
Di Kathmandu gedung
parlemen jadi abu, 19 orang tewas, ratusan luka. Polisi, bagai asura yang haus
darah, menembakkan peluru nyata ke demonstran. Bishnu dengan kain kumal
bertuliskan #UNMUTEYOURVOICE, menangis di bawah langit kelabu, tapi tangannya
tetap menggenggam bendera jerami. “Ini bukan kekerasan,” katanya, “ini tangisan
Himalaya yang muak pada penguasa korup!”
Walau di Indonesia hanya
6 nyawa yang melayang, 600 mahasiswa ditangkap, tetapi gedung DPR dan puluhan
fasilitas umum turut gosong di amuk massa. Beberapa rumah anggota DPR dan pejabat dijarah. Meski tindingan kalau aksi itu memang direncanakan, tapi yang pasti rakyat sudah muak pada tingkah laku sejumlah oknum elit negara yang tidak beradab serta menghina akal sehat.
Di Nepal, Bishnu dan Gen Z-nya menolak “nepo kids” yang pamer kemewahan, anak-anak elit yang hidup dari peluh petani yang setengah sekarat. Di Indonesia, rakyat marah karena prustasi bergerak untuk menghukum para politisi dan elit negara yang lupa diri. Luffy yang melawan tirani itu jadi patron—bukan untuk merusak, tapi untuk menampar para elit negara yang congkak.
Bishnu, di Kathmandu,
bermimpi Nepal yang adil dan sejahtera. Anak Dayak itu berharap kaum elit masih
ingat pada butir ke dua Pancasila yang keramat. Ia minta pemerintah tidak lagi merampok
masyarakat adatnya sendiri. Sebab Mandau dan Merah Putih itu sama-sama suci,
sama-sama mengerti makna kalimat kemanusian yang adil dan beradab.
Di Nepal, tentara
berpatroli, jam malam mengikat kaki. Di Indonesia, tuduhan makar dan suversib
mebayangi langkah. Yang mengibarkan bendera Jolly Roger, dicap pemberontak.
Tapi seperti Bishnu, dengan darah Gurkha, kami juga tak gentar. Cinta tanah air
tidak sama dengan menyerahkan kepala kami pada kehendak elit, melainkan berjuang untuk kepentingan seluruh rakyat. Di Nepal, Buddha menyeru welas asih; di Kalimantan, leluhur menyerukan keadilan.
Modernitas memberi medsos, memes, dan bendera One Piece symbol perlawanan.
Di langit Kathmandu dan
Jakarta, bendera jerami berkibar hampir serentak. Ia adalah puisi keadilan, jeritan nurani dan cinta tanah air yang sangat keras. Bishnu, aku dan anak Dayak itu berbagi mimpi:
negeri tak boleh lagi dikuasai para kurawa dan asura jahat. Karena itu demonstrasi yang Bung lakukan bukan untuk menjarah atau merusak, tetapi untuk mengembalikan lagi kedaulatan tertinggi ke tangan rakyat.
#Indonesiagelap
#IndonesiaCemas
#kaburajadulu
#onepiece
#WAKEUPNEPAL
#UNMUTEYOURVOICE