Rebut dan Ciptakan Ruang Financial & Ekonomi Dayak

Ekonomi Dayak
Ilustrasi Pemuda Dayak di Broadway, New York. Ai genrated 

Di pelataran rumah
betang, di pinggir Sungai Kapuas, angin berhembus dari hulu membawa bau busuk tanah yang dirusak oleh tambang dan sawit, seorang pemuda bertato dengan matanya yang sayu tapi tajam itu pun mulai menceritakan elegi tanah Dayak.

"Kita ini kayak anak tiri di republik ini? Tanah air kita kaya, tapi hasilnya untuk Jakarta." Ini bukan prank di Sosmed, tapi ini asli realitas pahit masyarakat Dayak. Sebagai anak negeri yang cuma bisa memungut recehan ini terasa seperti plot film horor: saat lapar melilit, hutan dan tanah warisan moyang dikemplang, eh para elit negara malah pesta sambil joget-jomget. Ini bukan mimpi basah, bung, tapi fakta sejak lama sejarah kita – Dayak yang dulu berdaulat di kampung halamannya sendiri, sekarang harus bergantung pada APBN/APBD yang dikendalikan pemerintah. Ironis, ya? Para pengayau dan penakluk sekarang malah mengais-ngais dana desa yang sering telat kayak janji politik yang seuprit.

Persis kayak penyakit kronis yang nyerang. Dulu, Dayak hidup dengan swidden farming, teknik ladang gilir balik yang selaras sama hutan tropis. Tanam padi gunung, umbi, sayur, buah, memancing sambil menjerat babi atau kancil di hutan. Tapi sejak dilancarkannya revolusi hijau dan kebun sawit sekala raksasa era 1960-1980-an, oleh rezim Orde Baru (Orba), hidup Dayak makin terjepit. Mirip ikan seluang yang diberi minum tuba dicampur gula. Air sungai yang tadinya sebening kaca berubah jadi racun. Para perempuan Dayak yang dulu setara di ladang kini beralih profesi menjadi kuli murah di perkebunan kelapa sawit. Sementara cukong-cukong pemiliknya saban hari meeting atau diner dengan pejabat republik.

Tambang nikel dan batubara betebaran di hampir seluruh pulau. Tapi seperti juga di Papua, warga Dayak malah diusir dari tanahnya. Mereka yang melawan, langsung ditangkap dan di penjara. Padahal jelas-jelas pasal 33 UU 1945 mengatakan kalau perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Andai kakek saya masih hidup, beliau pasti bilang,”preet! Kekeluargaan dari mana?” Sebab di republik Konoha adil itu cuma milik segelintir orang Jakarta yang  kerjanya utak-atik APBN saja!

Untunglah beberapa pemuda Dayak sempat belajar tentang Credit Union (CU) yang diperkenalkan oleh pastor Albrecht Karim Arbei, SJ pada tahun 1967. CU bagaikan obat penawar racun pembangunan bagi orang Dayak di Kalimantan Barat. Tahun 1976 berdirilah CU pertama di Sanggau, disusul CU Khatulistiwa Bakti tahun 1985, lalu Pancur Kasih tahun 1987 dan seterusnya. Di tangan para aktivis muda Dayak itu rupanya CU bukan cuma jadi obat, bahkan menjelma alat perlawanan terhadap rezim yang Naudzubillah Min Dzalik korup dan serakahnya.

Para aktivis Dayak lantas mempromosikan CU sebagai konsep ekonomi kerakyatan yang bisa mensejahterakan. Namun tentu saja kisahnya tak semulus karir bintang sinetron Nafa Urbach. Jangan kan di luar sana! Di internal Dayak pun banyak yang tidak percaya bahkan mencibir pada mimpi besar microfinance para pemuda dayak ini. Persis seperti meme "Dayak Level Up". Namun saat terjadi pertikaian etnik di Kalbar tahun 1997, CU justru jadi tempat rekonsiliasi etnik yang menarik. CU Stella Maris di Pontianak membangun social capital di tengah ketegangan itu. Karena CU tidak lagi hanya ekslusif dayak. Cina, Jawa madura, Bugis, Melayu miskin pun berbondong-bondong menjadi anggota.  Makin tahun CU-CU di Kalbar makin besar, bahkan asetnya mengalahkan APBD Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2018! CU Keling Kumang punya café, hotel, bahkan kampus yang megah. Alih-alih mengadopsi dan mengapresiasi praktik baik ini, negara yang para pejabatnya mata duitan itu malah berusaha menjerat CU dengan pajak dan berbagai aturan yang setengah brengsek!

Syukurlah organisasi CU cukup kokoh dan kuat. Meski berkali-kali dirongrong tapi tetap bergerak maju, memompa darah kepada hampir satu juta anggotanya yang tersebar hingga ke pelosok-pelosok. Petani Dayak tak perlu takut lagi kreditnya di tolak bank. Tinggal datang saja ke tempat pelayanan CU terdekat, uang pinjaman bisa langsung dicairkan. Mau usaha tinggal buka. Kalau Plato bilang republik butuh warga aktif, nun di tanah mantan para pengayau itu, CU telah menjadi republik mini, tanpa harus nunggu remah-remah trickle down effect hasil akal-akalan konsultan ekonomi berinsial WWR kampret itu.

Kalau demikian bung, orang Dayak harus menjaga bahkan memperbesar ruang finansial dan ekonomi mereka. Kayak EEA gitulah. Bila perlu bikin EFTA ala Dayak. Supaya bisa seperti negara Islandia, Liechtenstein, Norwegia yang punya akses internal dan eksternal market sertra memiliki hak yang sama. Rebutlah ruang tingkat dunia, ciptakan "Dayak Economic Area" – DEA! Dari hutan Borneo ke peta finansial global. Entrepreneur Dayak Iban, dayak Kayaan, Nganju, Taman, Penan, Bidayuh dan lain sebagainya. Hadapi modernisasi, dengan kekuatan link ekonomi dan budaya. Anggap saja ini sirkus ekonomi dan Dayak jadi akrobat utama, bukan penonton yang terpaksa bayar tiket mahal dan hanya duduk menonton di ruangan itu. Gak usah lagi bergantung pada APBN yang neglect itu. Percayalah kita bisa mandiri 100 bahkan 1000 tahun ke depan karena punya ruang finansial dan ekonomi serta social capital yang hebat. Bayangin aja CU ekspansi jadi bank Dayak internasional, saingi IMF, tapi versi rumah betang. APBN jadi "Aku Punya Bukan Negara" – milik elite, bukan Dayak.

Eko Patrio, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach,  dan anggota DPRI yang lain joget? Gak usah sakit hati. Menteri keuangan Sri Mulyani naikin pajak sampai ke langit? Gak masalah! Sebab Dayak sudah punya strategi ekonomi dan financial jangka panjang mirip punya bangsa Yahudi. Perluas CU dan integrasikan tembawang (etno-agroforestery) Kalimantan, dengan Sarawak, Sabah sampai ke Brunei Darussalam. Reclaim juga hutan dan seluruh kekayaan sesuai kesanggupan. Bikin farming Dayak berbasis adat, dan urgensi nilai tradisi. Biar saja Aristoteles bilang "Manusia adalah hewan politik," tapi Dayak bilang "kami zat yang berdaulat." Dayak memiliki bahasa, budaya, dan ekosistem kuat yang bebas dari berbagai ancaman.

Verse-nya hutan hilang, chorus-nya bangkit berjuang. Lindungi heart of Borneo dari para perompak dari seberang. Pemerintah maunya mining, Dayak pilih resilient livelihood berkelanjutan. Dayak yang hidup tersebar dari kutub utara hingga kutub selatan harus ingat pada slogan Datuk Temenggung Kanang Anak Langkau,” agik idup agik ngelaban!”  

Kini republik ini kayak universitas ketololan ekonomi: elite belajar dari korupsi, Dayak bayar SPP-nya dengan tanah dan hutan. Maka kita harus desain strategi 100 tahun ke depan: kuatkan CU, bikin DEA! Lupakan APBN! Dayak jelata tinggal ketawa saja. Ketika suatu hari nanti elite negeri Kohona ini jatuh ke lubang tambang, Dayak justru naik ke level paling cemerlang. Sebab angin revolusi pengayau modern ini pasti akan datang. Saat tuak di tempayan habis di tuang, berpikirlah bung, sebelum dinding rumah betang kita rusak digerogoti tikus atau jamur republik.

 

Jogja 1 September 2025

Type above and press Enter to search.