Transmigrasi: Catatan dari Desa Warmon, Papua Barat

Ari Syamsudin Namugur. Dok Progrma Peduli-Kemitraan 2016

Tahun 2016 Aku berdiri di ujung desa, dekat komplek pemukiman (SP3). Udara panas menusuk. Di sebelah kiri, barisan gubuk berdiri rapat. Di sisi kanan, tanah lapang terbuka, bekas kebun lama. Di situlah aku bertemu Ari Syamsudin Namugur—Kepala Desa Warmon, Distrik Mayamuk, Papua Barat. Syamsudin berambut keriting, berkulit legam, dengan sorot mata yang tajam seperti sudah terlalu lama memendam kecewa.

“Luas desa kami cuma dua hektare saja,” katanya tanpa basa-basi.  

Aku terdiam. Dua hektare? Tanah seluas itu tiada bedanya dengan luas kebun sawit satu orang transmigran di Kalimantan Barat! Tapi Syamsudin tidak sedang bercanda. Lahan itu diperoleh Syamsudin dan warganya (Suku Kokoda) berkat kebaikan MPM Muhammadiyah Sorong.

Syamsudin masih kecil ketika suara buldozer pertama kali memecah hening hutan leluhurnya. Ia menyaksikan langsung bagaimana sagu yang dulu ditokok neneknya berubah menjadi batu bata, atau bagaimana tanah ritual tempat para leluhur melakukan upacara adat digantikan oleh jalanan lurus yang membawa para pendatang dari Jawa. Kini ia mewarisi konsekuensinya.

“Tanah kami digusur. Kalau protes, dianggap menolak pembangunan,” lanjutnya.

Kampung ini berada di wilayah Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya. Cerita Syamsudin adalah cermin Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan pulau-pulau lain di Indonesia. Kisah tentang tanah yang tiba-tiba berubah status. Tentang peta yang digambar dari atas meja pejabat negara, tanpa pernah menyapa orang-orang yang terdampak.

Aku bertanya, “Kenapa bisa cuma dua hektare?”

Syamsudin menunjuk ke arah pemukiman transmigran tak jauh dari situ. Rumah-rumah baru, cat masih terang. Makmur sejahtera. Dulu, tanah itu tempat neneknya menokok sagu. Tempat leluhurnya berburu rusa. Tempat upacara adat digelar saat bulan sedang kembung sempurna.

“Sejak ada program SP3 transmigran. Kami dianggap pendatang ilegal di sini. Padahal leluhur kami tinggal di sini jauh sebelum Indonesia diproklamasikan.”

Suara Syamsudin rendah. Tapi nadanya menikam. Di matanya ada bola api yang menyala, dibungkus kesabaran seorang kepala desa yang terlalu sering mengalah.

Entah orang gila mana yang masih berpikir kalau Kalimantan, Papua, Sumatera, Sulawesi, dan pulau-pulau di nusantara ini adalah tanah kosong hari ini. Padahal disana ada tulang-tulang leluhur kami, ada tempat-tempat keramat yang tersembunyi, ada jejak perburuan lama, dan mata air purba di Tembawang yang kami rawat turun temurun.

Sejarah transmigrasi di negeri ini sudah sanat panjang. Sejak zaman kolonial Belanda, ide memindahkan penduduk dari Jawa ke luar pulau selalu diulang-ulang. Pada zaman Orde Baru, lebih dari dua juta orang sudah dipindahkan dari Jawa dan Bali ke pulau lain. Di atas kertas, ini terdengar mulia. Tapi program transmigrasi itu telah menyebabkan kami semakin marah dan luka!

“Orang luar datang diberi fasilitas bahkan sertifikat tanah. Tapi suku Kokoda justru terusir dari tanah warisan leluhurnya,” kata Syamsudin pelan.

Aku menelan ludah. Berat.

Hal yang sama juga menimpa orang Dayak di Kalimantan. Mereka kehilangan ruang hidupnya pelan-pelan. Baik akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit, tambang dan maupun program transmigrasi. Tapi yang membuatku tercekat pagi itu adalah kenyataan bahwa desa Warmon Kokoda hanya memiliki dua hektare tanah saja! Seluruh wilayah adat mereka sudah lebih dulu dibagi-bagi rezim Orba kepada pendatang.  

Cerita Syamsudin bermain lama di kepalaku, hingga kemarin pemerintah mengumumkan 45 kawasan transmigrasi yang dijadikan fokus utama pembangunan nasional RPJMN 2025-2029 yang ditentang para demonstran, terutama di Kalimantan Barat.

Saya cemas suara-suara protes itu akan membentur senapan. Dituduh mengganggu investasi dan tidak pro pembangunan. Sebab di era Orba dulu banyak aktivis yang hilang diculik. Padahal mereka hanya ingin hidup damai tanpa perselisihan. Menjadi warga negara yang baik. Warga yang taat membayar pajak tanpa harus jadi maling!

Kisah Suku Kokoda adalah kisah di banyak kampung di Indonesia. Baik di Papua maupun Kalimantan. Dari pegunungan hingga ke pesisir paling pantai yang terpinggirkan. Sebuah kisah tentang luka yang seakan sengaja diputar ulang. Tentang pembangunan yang kononnya adil tapi kurang beradab. Meski aku belum melakukan penelitian sendiri, tapi dari catatan sebagai jurnalis 20 tahun ini, aku hampir pasti: luka transmigrasi terbaca jelas dalam tiga jejak, yaitu  konflik agraria, kehancuran lingkungan, dan peminggiran budaya masyarakat adat.

Aku menulis ini bukan karena sinis atau pun membenci. Tapi untuk mengingatkan bahwa pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke bukanlah tanah kosong. Dan suatu hari, ketika peta-peta dibuka dan rapat-rapat besar digelar, aku berharap ada satu kursi untuk orang seperti Ari Syamsudin Namugur disana. Agar ada yang berkata dengan lantang: “Kami tidak menolak pembangunan, Tapi janganlah anggap kami tidak ada di kalian punya republik!”

Type above and press Enter to search.