Wajah Pemalang: Kemisninan dan Luka Sosial Pantura

Ilustrasi kondisi pasar tradisional Pemalang

Di ujung Pantura, Pemalang berdiri dengan wajah sederhana. Sawah hijau, pasar ramai, dan suara klakson truk di mana-mana. Tapi di balik itu, ada cerita lain: kemiskinan yang membelenggu, perempuan dan anak yang terluka, serta keluarga yang tercerai. Ini bukan sekadar angka, tapi kisah hidup ratusan ribu jiwa.

Bayangkan, pada 2024, 194.200 warga Pemalang hidup di bawah garis kemiskinan—14,92% dari total penduduk, jauh di atas rata-rata nasional 8,57% pada setember 2024 (Pantura Post, 2024; BPS, 2025). Angka ini seperti beban berat di pundak petani, pedagang kecil, dan buruh harian. Mereka berjuang, tapi sering kali kalah oleh daya beli yang rendah dan lapangan kerja yang tak kunjung ramah. Tingkat pengangguran 6,63% pada 2022 (RPJPD Pemalang) bukan sekadar statistik, tapi cerita anak muda yang bermimpi besar namun terpaksa jadi buruh serabutan.

Mengapa kemiskinan begitu keras kepala di sini? Pertama, ekonomi Pemalang bertumpu pada pertanian, sektor yang rentan terhadap cuaca dan harga pasar. Kedua, pendidikan rendah—IPM 67,19 pada 2022—membuat banyak warga terjebak di pekerjaan berupah kecil. Ketiga, bencana seperti banjir dan longsor, seperti yang melanda November 2024, menghancurkan ladang dan warung kecil (MetroTV News, 2024). Terakhir, bantuan sosial sering salah sasaran, sebagaimana diungkap Menko PMK Muhadjir Effendy (Kemenko PMK, 2024). Gubernur Ganjar Pranowo pernah datang pada 2023, berjanji mempercepat penanganan kemiskinan ekstrem, tapi hasilnya belum merata (Pemkab Pemalang, 2023).

Di tengah kemiskinan ini, ada luka lain: kekerasan terhadap perempuan dan anak. Data nasional menunjukkan 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2023, dengan KDRT sebagai penyakit utama (Komnas Perempuan, 2024). Di Pemalang, meski data lokal terbatas, kemiskinan jadi pemicu utama. Tekanan ekonomi membuat suami-istri bertengkar, kadang berujung kekerasan. Anak-anak pun tak luput: 45% anak usia 13–17 tahun di Indonesia alami kekerasan emosional, entah dari bullying atau teriakan di rumah (Kemen PPPA, 2024). Di Pemalang, ini mungkin cerita anak petani yang diejek karena bajunya usang.

Ada benang merah lain: Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Pemalang adalah gudang TKI, terutama perempuan yang jadi pekerja domestik di luar negeri. Mereka pergi demi sesuap nasi, tapi sering pulang dengan trauma. Kemen PPPA (2018) mencatat 90% TKI bermasalah adalah perempuan, menghadapi kekerasan fisik hingga seksual. Maizidah Salas, mantan TKI asal Jawa Tengah, pernah cerita soal KDRT dan pelecehan yang dialaminya—kisah yang mungkin juga dialami warga Pemalang (Kemen PPPA, 2018). Keluarga yang ditinggal TKI pun rapuh. Anak-anak rentan diabaikan, terpapar gadget tanpa pengawasan, atau jadi korban kekerasan. Suami-istri yang terpisah jarak sering bertengkar soal uang kiriman, menambah luka.

Seorang teman di Pemalang bercerita kalau luka ini berujung pada perceraian. Meski data Pemalang 2024–2025 tak tersedia, pola nasional jelas: pada 2020, perselisihan berkelanjutan (176.683 kasus) dan faktor ekonomi (71.194 kasus) jadi penyebab utama perceraian (Komnas Perempuan, 2021). Di Pemalang, TKI memperburuk situasi. Jarak memisahkan hati, ekonomi memicu konflik, dan KDRT jadi pemicu akhir. Perempuan TKI yang pulang dengan trauma sering dihadapkan pada stigma, membuat rumah tangga makin goyah.

Apa yang bisa dilakukan? Pertama, atasi kemiskinan dengan cara cerdas: buka lapangan kerja baru, misalnya industri kecil atau pariwisata Pantura. Kedua, tingkatkan pendidikan vokasi agar anak muda tak lagi terjebak di pekerjaan serabutan. Ketiga, benahi distribusi bantuan sosial—jangan sampai korupsi merampas hak warga miskin. Untuk kekerasan, perkuat layanan pengaduan seperti SAPA 129 dan edukasi anti-kekerasan di desa-desa. Khusus TKI, butuh pendampingan keluarga yang ditinggal, termasuk pelatihan ekonomi agar istri atau suami tak hanya bergantung pada kiriman. Perceraian? Mediasi perkawinan dan konseling keluarga bisa jadi solusi. 

Tentu masalah akut ini tak cukup hanya diselesaikan lewat tulisan, lewat FGD,  atau rapat-rapat di kantor bupati dan gedung dewan saja. Etikad dan niat baik penyelenggara negara mulai dari tingkat atas hingga level desa harus sungguh-sungguh menyadari ini semua dan bertindak untuk mencerahkan wajah Pemalang yang muram dan keluar dari nasibnya yang malang.

Pemalang bukan sekadar angka. Ia adalah kisah petani yang bangun pagi demi sawah, perempuan TKI yang menangis di negeri orang, dan anak-anak yang bermimpi di tengah kemiskinan. Mereka butuh lebih dari janji mereka yang berkuasa—mereka butuh tangan yang mengangkatnya. Seperti kata orang Jawa, “Urip iku urup,” hidup harus menyala. Saatnya Pemalang menyala, bebas dari kemiskinan dan luka sosial.

Daftar Bacaan:

·       Pantura Post (2024). Angka Kemiskinan di Pemalang Masih Tinggi.

·       Kemenkeu (2024). Profil Kemiskinan Maret 2024.

·       RPJPD Pemalang 2025–2045.

·       MetroTV News (2024). Pekalongan dan Pemalang Dilanda Bencana.

·       Kemenko PMK (2024). Pernyataan Menko PMK.

·       Pemkab Pemalang (2023). Kunjungan Gubernur Ganjar.

·       Komnas Perempuan (2024). Catatan Tahunan 2023.

·       Kemen PPPA (2024). Survei SNPHAR & SPHPN.

·       Kemen PPPA (2018). Laporan TKI Bermasalah.

·       Komnas Perempuan (2021). Data Perceraian 2020.

Type above and press Enter to search.