The Forest Therapy ala Orang Dayak
![]() |
The forest therapy ala Orang Dayak |
Kita suka membanggakan
kemajuan. Gedung pencakar langit, obat-obatan canggih, smartwatch yang
menghitung langkah dan detak jantung kita. Tapi, coba tanya: mengapa gejala depresi di daerah
urban Indonesia, seperti Jakarta, bisa mencapai 15% di kalangan tertentu,
sementara di pedesaan mungkin 10% atau lebih rendah, meskipun data spesifik
untuk komunitas Dayak terbatas (IFLS-5, 2014; Christiani et al., 2015)? Apakah
“kemajuan” kita justru menjauhkan kita dari sesuatu yang telah menyelamatkan
manusia selama ribuan tahun? Hutan Dayak, dengan pohon-pohonnya yang
mengeluarkan fitonsida—senyawa kimia seperti napas ajaib—adalah
laboratorium kesehatan yang kita abaikan. Orang Dayak tahu ini, dan mereka
hidup selaras dengan rahasia yang kini dibuktikan oleh sains.
Seperti HP yang mulai sering
hank. Aplikasi crash, baterai boros, loading-nya
makin lemot. Apa yang kamu lakukan? Reset
ke mode pabrik bukan? Kembali ke pengaturan aslinya. Tubuh kita juga demikian.
Kita “ngadat” karena polusi, stres, dan hidup terputus dari alam. Orang Dayak
punya solusi: hutan adalah tombol reset kita. Dengan berjalan di hutan,
menghirup fitonsida, dan menyentuh tanah, mereka seperti mereset tubuh
ke mode pabrik manusia—mode yang dirancang untuk selaras dengan alam, bukan
beton. Sains membuktikan ini: hanya dua jam di hutan meningkatkan sel natural
killer—tentara imunitas tubuh—sebesar 40–50% (Li, 2010). Efeknya bertahan
sebulan, melawan infeksi dan bahkan kanker. Bayangkan: pohon ulin dan meranti
di Kalimantan melakukan ini untuk orang Dayak setiap hari, tanpa perlu resep
dokter.
Apa rahasia hutan? Salah
satunya fitonsida, senyawa yang pohon keluarkan untuk melindungi diri,
tapi juga menyembuhkan kita. Saat orang Dayak melakukan batimung—terapi
uap dengan ramuan hutan seperti akar bajakah—mereka menghirup fitonsida
yang menenangkan tubuh dan pikiran. Penelitian membuktikan bahwa 20 menit di
hutan menurunkan hormon stres kortisol sekitar 13–16% (Park et al., 2010).
Bandingkan dengan jalan-jalan di kota: bukannya relaks, kamu malah stres lihat
kemacetan. Orang Dayak, dengan ritual mereka di bawah pohon sakral, sudah tahu
ini jauh sebelum kita punya laboratorium.
Hutan juga menyembuhkan
jiwa. Pernahkah kamu merasa dunia terlalu bising—notifikasi, klakson, deadline?
Sekarang, bayangkan duduk di tepi sungai di hutan Kalimantan, hanya ditemani
suara air dan kicau burung. Studi menunjukkan pemandangan hijau dan suara alam
menenangkan amigdala, bagian otak yang memicu kecemasan, secara signifikan
mengurangi gejala kecemasan dan depresi hanya dalam 20 menit (Bratman et al.,
2015). Orang Dayak, melalui ritual Kaharingan atau meditasi di hutan, telah
memanfaatkan ini selama berabad-abad. Hutan adalah terapis mereka, tanpa invoice atau tagihan.
Lalu, ada grounding—kontak
langsung dengan bumi. Orang Dayak berjalan tanpa alas kaki saat membuka ladang, atau sekadar mencari jamur di hutan. Sains modern bilang ini bukan sekadar “kebiasaan
primitif”. Penelitian menemukan bahwa menyentuh tanah adalah mentransfer elektron yang
mengurangi inflamasi dan stres oksidatif, seperti mengisi ulang baterai tubuh
(Chevalier et al., 2012). Kita, yang terisolasi oleh sepatu dan lantai beton,
kehilangan “soket” alami ini. Orang Dayak? Mereka terhubung setiap hari.
Mengapa orang Dayak yang
masih punya hutan lebih sehat? Mereka hidup seperti manusia seharusnya:
bergerak di hutan, makan ikan sungai dan sayuran liar, bernapas udara bebas
polusi. Penelitian menunjukkan bahwa berjalan di hutan dapat meningkatkan
saturasi oksigen darah dan menurunkan tekanan darah, misalnya hingga 7–10 mmHg
pada lansia, memberikan manfaat kesehatan langsung (Mao et al., 2012). Orang
Dayak Sungai Utik, di Kalbar mendapat ini secara alami, tanpa perlu gym atau alat ukur. Akar bajakah, yang
mereka gunakan untuk pengobatan, menunjukkan potensi antikanker dalam
penelitian awal, meskipun uji klinis masih diperlukan (Universitas Lambung
Mangkurat, 2020). Sementara itu, Dayak di kota bergumul dengan diabetes,
jantungan, dan stres, terperangkap dalam siklus polusi dan pil.
Lihatlah Blue Zones
seperti Okinawa atau Sardinia, tempat orang hidup sampai 100 tahun karena dekat
dengan alam (Buettner, 2012). Dayak adalah Blue Zone Borneo, tapi
ada sekelompok orang yang dengan dan atas nama pembangunan menyebut Dayak masyarakat “terbelakang”. Benarkah? Jangan-jangan merekalah yang terbelakang,
menghancurkan hutan untuk industri ekstraktif dan mal, lalu bertanya-tanya mengapa kita
sakit? Hutan Dayak adalah bukti bahwa manusia berevolusi bersama alam, bukan
melawannya. Tubuh kita dirancang untuk fitonsida, untuk tanah, untuk ricik air, dan suara daun bergesek oleh angin—bukan untuk AC dan layar monitor yang segede-gede gaban.
Jepang punya 60 situs shinrin-yoku,
Korea punya hutan penyembuh di Jeongnamjin, Jerman menggunakan Hutan Hitam
untuk terapi asma dan trauma. Kalimantan yang punya hutan adat Dayak—apotek
hidup yang belum kita manfaatkan. Tapi hutan ini nyawanya pun sedang sekarat,
bahkan tembawang (etno-agroforestry
khas masyarakat dayak) yang tersisa pun perlahan-lahan lenyap. Tambang dan
perkebunan sawit menelannya lebih cepat daripada kita bisa mengucap
“deforestasi”. Jika kita tak bertindak, rahasia penyembuhan Dayak ini akan
hilang, dan kita akan kehilangan lebih dari pohon di hutan—kita juga kehilangan
akar kemanusiaan kita.
Jadi, tanya dirimu: mau
terus berlari di treadmill kehidupan kota, atau kembali ke hutan Dayak, ke
apotek rahasia yang telah menjaga manusia selama ribuan tahun? Pilihanmu
menentukan bukan cuma kesehatanmu, tapi masa depan bumi ini. Hutan menunggu,
tapi tidak selamanya.
Daftar Bacaan
- Bratman,
G.N. et al., 2015. Nature experience reduces rumination and subgenual
prefrontal cortex activation. Proceedings of the National Academy
of Sciences, 112(28), pp.8567–8572.
- Buettner,
D., 2012. The Blue Zones. Washington, D.C.: National Geographic.
- Chevalier,
G. et al., 2012. Earthing: Health implications. Journal of
Environmental and Public Health, 2012, p.291541.
- Christiani,
Y. et al., 2015. The prevalence of depressive symptoms among women in
urban Indonesia. Journal of Affective Disorders, 182,
pp.104–110.
- Indonesia
Family Life Survey (IFLS-5), 2014. Prevalence and determinants of
depressive symptoms. RAND Corporation.
- Mao,
G.X. et al., 2012. Therapeutic effect of forest bathing on human
hypertension. Environmental Health and Preventive Medicine,
17(6), pp.451–456.
- Li,
Q., 2010. Effect of forest bathing trips. Environmental Health
and Preventive Medicine, 15(1), pp.9–17.
- Park,
B.J. et al., 2010. Physiological effects of Shinrin-yoku. Environmental
Health and Preventive Medicine, 15(1), pp.18–26.
- Universitas
Lambung Mangkurat, 2020. Potensi Akar Bajakah. Banjarmasin:
Fakultas Kedokteran ULM.