Tembawang di Bawah Bulan

Kerawing, Tembawang under the Moon
Illustration of Kerawing-Tembawang under the Moon by Mering with AI 

Cerpen: Wisnu Pamungkas 

Namaku Kerawing. Nama yang artinya bintang—barangkali bintang yang bersinar paling terang di langit. Tapi aku tidak pernah melihat tembawang. Tidak pernah menyentuh tanah leluhurku di Pulau Dayak. Tidak tahu rasa gurih durian dari tanah itu, atau harum bunga bungkang (Syzygium polyanthum) yang mekar di bawah cahaya bulan. Tapi DNA-ku mengingatnya.

“Ayah, aku ingin ke kampungmu,” kataku waktu SMA.

“Untuk apa?” suara ayah berat.

“Aku ingin melihat tembawang.”

Ayah terdiam. Ia membuka laci tua, mengeluarkan album lama. Di sana ada foto: batang pohon yang tinggi, burung enggang, anak-anak mencari buah durian, dan satu potret lelaki gondrong duduk bersila di akar besar—menangis. “Itu aku, waktu tembawang terakhir dibabat. Sejak hari itu aku menguburnya dari ingatan. Tak ada batu nisan. Hanya karbon dan korban.”

“Apakah tembawang itu hidup, Yah?”

“Barangkali hanya di ingatan. Tapi jasadnya menghilang.”

Di luar kamar ibuku diam. Malam itu, ia menyalakan dupa dan menabur bunga kantil di pojok halaman. Katanya, itu “tempat teduh untuk roh yang terluka.” Ibu orang Jawa. Ia tak pernah bicara keras. Tapi aku tahu: diam-diam hatinya menyimpan banyak makam.

**

Aku kuliah di ISI Jogja. Jurusan seni pertunjukan. Saat tugas KKN, aku ditempatkan di sebuah kampung terpencil di Gunungkidul. Bukit karst, pohon jati, dan malam yang tajam. Tempat dimana matahari selalu telat terbit dan paling cepat terbenam. Satu-satunya yang terasa familiar hanyalah senyap.

Sampai malam itu, saat Brahmaraja datang.

Seorang juru cerita keliling. Tubuhnya tinggi, berwajah tampan. Tapi matanya... seperti lubang waktu. Di pertunjukan itu, ia menceritakan Dewa Ruci, tapi entah mengapa Bima bisa menjelma menjadi pohon, kepalanya menjadi durian, panggung berubah menjadi tanah. Entah karena bosan atau cerita Brahmaraja terlalu absurd, satu persatu penonton pergi. Hanya aku yang masih duduk di situ.

Setelah usai, aku mendekat. “Juru cerita, ceritakanlah kepadaku tentang tembawang.”

Pria itu menoleh. “Baiklah,” katanya.

**

Kami duduk di bawah pohon jati.

“Apakah kau tahu apa itu tembawang?” tanyanya.

“Dayak Iban menyebutnya temawai, Dayak Benuaq menyebutnya lembo, Dayak Nganju menyebutnya kaleka, Dayak Jalai menyebutnya dahas, dan lain sebagainya. Para aktivis lingkungan menyebutnya etno-agroforestry. Tapi bagiku tembawang bukan hanya itu. Ia adalah konsep yang hidup bersama dan dalam diri orang Dayak, sebuah situs sekaligus ritus yang menghubungkan manusia dengan semesta, dengan pengetahuan atau memori  nenek moyangnya, dengan sumber energi, sang khalik dan roh-roh.”

Brahmaraja tersenyum. “Kau mengingatnya dengan baik, padahal belum pernah ke sana.”

“Entahlah, ia ada dalam kepalaku.”

“Karena kau bukan cuma manusia Kerawing. Kau adalah sebuah simpul. Darah Jawa dan Dayak. Kau adalah buku yang belum selesai ditulis.”

**

Malamnya aku bermimpi. Aku menari di tengah tanah lapang di tengah kampung. Tapi tubuhku bukan tubuh, hanya jasad yang menyerupai tubuh tetapi sebenarnya bukan. Kakiku menjalar menjadi akar. Pokok durian, cempedak, rambutan dan rotan tumbuh dari jari-jari. Rambutku menjelma semak belukar. Ibu berdiri jauh, menyalakan dupa. Ayah memotret bintang di langit. Brahmaraja berdiri di panggung yang perlahan-lahan tenggelam.

“Aku adalah tembawang. Apakah kamu bisa menghidupkanku,” tanyanya.

Saat terbangun, tanganku berlumpur. Tubuhku basah berkeringat. Ada sebiji tengkawang di bawah bantal.

**

Hari-hari setelahnya, Brahmaraja muncul di mana-mana. Dalam bayangan, pantulan kaca, bahkan dalam suara notifikasi ponsel.

“Kau punya dua bahasa: Dayak dan Jawa. Dua tubuh. Dua akar. Jadikan tubuhmu tembawang,” katanya.

Aku mulai menggambar. Menari. AI visualnya berupa batik motif kawung dan pating melanjan dibingkai gelung kelindan. Musiknya: perpaduan suara gamelan dan irama sape’. Gerakannya hibrida. Gentar dan ganjil.

Di layar, Brahmaraja muncul lagi. Tapi kali ini ia tak bicara. Hanya mengangguk.

Orang-orang menonton. Sebagian menangis. Sebagian melapor ke kepala desa ada pohon aneh tumbuh di halaman rumah mereka.  

Esoknya, pohon jati tua di tengah-tengah kampung itu roboh tanpa angin. Di tempatnya, muncul tunas kecil pucuk daunnya mirip tengkawang. Orang terheran-heran karena itu bukanlah jenis pohon yang lazim tumbuh di tanah kapur.

**

Aku membuat panggung dari tanah. Tak bicara. Tak bergerak. Tapi tubuhku mengalir. Nafas jadi suara. Akar jadi isyarat. Seorang anak mendekat.

“Kak, kamu manusia?”

Aku ingin bilang ya. Tapi aku merasa aku adalah tembawang.

Setelah itu, aku lenyap. Tapi di internet, muncul akun anonim bernama Tembawang. Isinya: gambar-gambar pepohonan. Mulai dari pohon kemantan (Mangifera torquenda) hingga asam maram (Eleiodoxa). Dari buah durian hingga buah rukam (Flacourtia rukam). Sepasang macan dahan dan orangutan mondar-mandir jadi carousel di website. Kemudian muncul suara ricik air sungai, dan video Brahmaraja menyanyi dalam bahasa yang kata-kata gaib.

Orang menyebutnya karya seni. Tapi aku tahu itu bukan seni. Itu panggilan.

**

Suatu malam, ayah menelepon. Suaranya gemetar. Ibu batuk-batuk di sampingnya.

“Kerawing... aku mimpi kamu menari. Lalu kamu jadi pohon tapang (Koompassia excelsa). Dan aku... aku menebangmu.”

“Hmmm. Aku tidak marah kok, Yah”

“Kami mencintaimu, Nak….”

Aku tak menjawab. Ayah menutup telpon. Klik.

Kini, setiap kali aku menarik napas panjang, bayangan Sirius—bintang paling terang di langit—muncul di kepalaku berulang-ulang. Ia menyatu dengan roh tembawang, menari dengan indah, mengepakan sayap seperti burung enggang, dan mengangkat paruhnya tinggi-tinggi, menghisap seluruh oksigen yang tersisa di ini planet.

 

Jogja, 10 Juni 2025

Type above and press Enter to search.