Senja, Cuti, Malaria, dan Perusahaan Sendiri

Totok Setiawan

Tiga bulan. Hampir tiga bulan, setiap pulang kerja, tak ada yang dapat aku lakukan di Pulau Gebe yang terpencil dan sunyi, selain menatap langit senja, perahu nelayan di kejauhan, kecipak ombak, dan air laut sore hari yang berubah seperti cairan tembaga kemerah-merahan tersepuh cahaya langit jingga, tersaput mega-mega.

Senja di Pulau Gebe adalah senja yang memesona, lengkap dengan sebuah pantai yang pasirnya selalu basah, gemerisik daun nyiur melambai serta siluet batu karang yang membuat kita setiap waktu ingin duduk berlama-lama menyaksikan matahari terbenam, perlahan-lahan melorot ke balik cakrawala.

Tapi apalah arti keindahan senja di pulau terpencil untuk seorang pekerja tambang sepertiku. Seorang lelaki yang jauh dari rumah, meninggalkan orang-orang tercinta, meninggalkan keluarga dan menjadi orang asing di pulau yang hanya terdiri dari air, waktu, debu tanah, dan senja. Tak ada telepon, tak ada senyum istri tercinta, tak ada apa-apa di sini selain desau angin, raungan mesin, debur ombak, dan senja yang selalu dipenuhi serangga.

Saat duduk di kantin sederhana tempat orang-orang sering nongkrong setelah lelah seharian didera pekerjaan di tambang, seorang teman tiba-tiba bertanya.

“Kapan terakhir dirimu cuti?”

Aku melirik kalender lusuh berdebu yang tergantung di dinding warung.

“Sudah berbulan-bulan lamanya…,” jawabku tak berselera. Sebab supervisor sepertiku seharusnya dapat jatah cuti dua bulan sekali. Tetapi karena tak beruntung, aku masih harus mengantre. Konon kabarnya jatah cutiku baru akan dikabulkan oleh manajemen beberapa minggu lagi. Buset!

Tiga bulan. Ya, sudah hampir tiga bulan aku tidak pulang ke rumah kami di Bandung, Kota Kembang tempat aku bertemu istriku dan kami membangun rumah. Entah bagaimana nasibnya, yang saat kutinggalkan berangkat ke pulau ini dalam keadaan hamil, dan aku tidak bisa menjadi suami siaga, tidak bisa mengantarnya ke Puskesmas.

Jauhnya jarak dan luasnya samudra yang membentang menjadi portal tebal yang memisahkan kami berdua. Tak terkatakan betapa berantakannya perasaan kami saat itu. Tapi apa hendak dikata, aku sudah terlanjur memilih menjadi supervisor muda perusahaan kontraktor tambang, di sebuah pulau terpencil di ujung timur Indonesia.

Dari udara Pulau Gebe mirip senjata kujang yang sompel pinggir dan ujungnya. Luasnya sekitar 224 km² saja, persis di ujung tenggara kaki Pulau Halmahera, berbatasan langsung dengan Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Pulau yang ditumbuhi hutan mangrove dan dipenuhi aroma kopra ini dulu adalah bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Tidore. Sebagian besar penduduknya beragama Islam berkat jasa Abdul Manau, dari Palembang. Konon beliaulah yang mulai membangun permukiman hingga berkembang menjadi Desa Sanafi. Seiring pertambahan penduduk, dan masuknya PT Aneka Tambang (ANTAM) di Pulau Gebe tahun 1978, tumbuhlah desa-desa pemekaran yang lain, seperti Desa Kacepi, Kapaleo, Mamin, dan Elfanun.

Aku baru mengetahui anak pertamaku lahir, tiga bulan kemudian, saat diberi cuti oleh perusahaan.

 ***

Aku lahir di Sukabumi, 69 tahun silam, sebuah kota kecil di Jawa Barat yang terkenal dengan Pelabuhan Ratunya. Belanda menyebutnya Wijnkoopsbaai yang berarti teluk anggur. Nama tersebut menurut Profesor Veth berasal dari saudagar anggur zaman VOC bernama Jan Jacobz. Di tempat itulah ayahku, Ukim Sasmita, sambil berdagang, selain bertani seperti kebanyakan penduduk Sukabumi, dibantu oleh ibuku, Uum Komariyah.

Seluruh masa kecilku kuhabiskan di Sukabumi hingga tamat Sekolah Teknik Menengah Negeri (STMN) 1 Sukabumi. Orang-orang sering menyebutnya Kaboet 90. Entah dari mana asal-usul julukan Kaboet 90 tersebut. Mungkin karena sering terjadi fenomena kabut tebal di Sukabumi yang berada pada ketinggian 584 mdpl dan alamat sekolah kami persis di Jl. Kabandungan No. 90.

“Untuk sukses, kamu harus bekerja keras. Hiduplah jujur, tekun dan disiplin, serta jangan pernah meninggalkan kewajiban ibadahmu kepada Tuhan Yang Maha Esa,” nasihat ayah suatu hari.

Tapi namanya juga masih anak-anak, kata-kata ayah saat itu masuk telinga kiri dan keluar di telinga kanan. Baru setelah aku tumbuh dewasa dan memasuki dunia kerja, barulah nasihat ayah benar-benar kuhayati, dan bahkan sering terngiang-ngiang di kepala. Nasihat ayahlah yang membuatku mampu bertahan, ketika kantor PT United Tractors (UT), mengirimku ke Pulau Gebe untuk pertama kali. Sebuah keadaan yang perbedaannya bagaikan langit dan bumi dengan Kota Bandung maupun Sukabumi.

Di dunia tambang, aku memulai perjalanan karier di UT pada tahun 1975 sebagai Chief Operator alat-alat berat. Lalu naik ke posisi Kepala Bagian Produksi, dan naik lagi menjadi Project Manager 1987, sampai Operation Manager pada beberapa proyek tambang PAMA. Pada tahun 2007, setelah 5 tahun menjabat sebagai PAMA Office, aku mengakhiri masa baktiku di perusahaan Astra Group tersebut sebagai Presiden Direktur PT Prima Multi Mineral (PMM), salah satu anak perusahaan PAMA.

Bersama teman-teman, kami mendirikan PT Riung Mitra Lestari (RML) dan aku menjabat sebagai Vice President Director hingga President Director. Terakhir aku menjabat sebagai Komisaris PT Hasnur Riung Sinergy (HRS), yaitu sebuah perusahaan jasa kontraktor pertambangan yang berpusat di Jl. Sudirman, Jakarta Selatan.

Keputusan mendirikan RML tahun 2006 adalah sebuah tindakan berani jika tak mau dikatakan nekat.

“Siapa yang menginspirasi Anda mendirikan perusahaan, setelah sekian lama hanya menjadi karyawan?” tanya seorang kolega.

“Om William Soeryadjaya,” jawabku mantap.

Suatu ketika William Soeryadjaya (Tjia Kian Liong) berkunjung ke Balikpapan. Aku saat itu ditugaskan membuat jalan perusahaan di Desa Sangatta, hingga hampir mati terserang malaria. Meski menderita, ketika mendengar Om William bercerita bagaimana dia berhasil merintis usahanya dari nol hingga sukses, semangat kami—terutama aku—yang tengah kendor jadi bangkit kembali.

Dulu dia adalah anak yatim piatu yang putus sekolah. Merintis usahanya dari bawah dan kita semua tahu bahwa William Soeryadjaya kemudian berhasil mendirikan PT Astra International (Astra), sebuah perusahaan besar di Indonesia.

Ketika bertugas di Palangkaraya, hampir setiap tahun kami menghirup asap kebakaran hutan dan lahan. Saat di Samarinda aku pernah kelaparan karena tak ada warung makan, setelah menempuh perjalanan tiga hari tiga malam naik kapal kayu untuk menuju tempat tugas. Pernah juga speedboat yang kami tumpangi mogok dan hanyut terseret arus hingga ke Selat Makassar ketika menyeberangi laut.

Saat bertugas di Kalimantan, kami harus berkendara selama tiga hari tiga malam menggunakan kapal kayu ke hulu sungai dan masuk hutan. Transportasi belum lancar seperti sekarang, berjalan kaki menuju tempat kerja bisa berjam-jam. Jika ada alat berat perusahaan yang rusak maka kami harus memikul sendiri oli dan peralatan ke hutan. Hidup berbulan-bulan di dalam tenda, mandi mencuci di sungai langsung. Jangan berharap ada fasilitas Mandi, Cuci, dan Kakus (MCK) di sana. Berbeda sekali dengan saat ini di mana fasilitas sudah sangat baik.

Barulah ketika bertugas di Belitung aku bisa pulang sebagai suami dan menemani istri saat melahirkan anak kami yang ke-3. Bayangkan betapa sabarnya seorang wanita yang menjadi istriku.

Suatu ketika di tahun 2000, adalah hari yang berat karena tugas menghadapi pendemo di PT Adaro Indonesia. Kami sekeluarga mendapat teror. Bahkan ancaman santet dan akan dibunuh. Meskipun pada akhirnya semuanya dapat diselesaikan dengan baik, tetapi peristiwa itu adalah saat-saat terberat bagiku selama bekerja di dunia tambang, bahkan lebih berat dari ketika harus hidup di Pulau Gebe yang terpencil.

Pada saat aku masih menjadi karyawan, ada sebuah kebiasaan yang sering kulakukan, yaitu selalu menawarkan diri untuk membantu atasan atau bos. Dari situlah aku mendapatkan pengalaman dan pengetahuan bagaimana mereka memimpin sebuah perusahaan.

Pada akhirnya aku ingin berbagi bahwa dunia tambang dapat menciptakan cukup banyak lapangan kerja sehingga dapat membantu bangsa dan negara tercinta. Inilah yang menyebabkan aku masih terus bekerja di dunia tambang

*) Komisaris PT Hasnur Riung synergy dan owner PT Riung Mitra Lestari.

Cerita ini telah dipublikasikan di Buku 100 Anak Tambang Indonesia yang diterbitkan Allsysmedia, Bogor 2021

Type above and press Enter to search.